Kemenag Gelar TOT Tunas Integritas Angkatan II

By Admin

nusakini.com--Kementerian Agama kembali menggelar Training of Trainer (TOT) Tunas Integritas, bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), TOT angkatan II ini diikut oleh 27 pejabat eselon II Kementerian Agama yang berasal dari pejabat eselon II pusat, PTKN, dan Kakanwil Kemenag Provinsi, dibuka oleh Sekretaris Jenderal Kemenag Nur Syam, TOT ini akan berlangsung pada  25-27 Juli 2016 di Bandung. 

Sekretaris Jenderal Kemenag Nur Syam dalam arahannya mengatakan, ada dua hal mengapa perubahan itu harus dilakukan dari atas, mengapa yang dilatih dulu justru dari para pejabat eselon I dan II, kemudian nanti diteruskan ke eselon III dan IV dan seterusnya. Menurutnya, karena ada dasar-dasar sosiologis yang penting bagi masyarakat Indonesia, salah satu di antara yang mendasar itu karena masyarakat kita itu paternalis, masyarakat kita menganggap bahwa pimpinan itu adalah teladan dan contoh. 

Oleh karena itu, maka gerakan anti korupsi itu dalam banyak hal dimulai dari atas, ini yang dinilai berbeda dari gerakan-gerakan lainnya di dalam kerangka membangun anti korupsi, ujar Sekjen. 

Ditandaskan Sekjen, kalau pelatihan-pelatihan harus dilakukan dan pengembangan agen tunas integritas perlu dilakukan itu tidak lain dalam rangka membangun perubahan dari atas. 

Perubahan diharapkan datang dari kita semua, karena sesungguhnya kita sendiri yang jadi teladan di kalangan masyarakat kita, di kalangan ASN. Diharapkan kita jadi contoh, gerakan dari atas dahulu, yang dibawah akan mengikuti, tandasnya. 

Menurut Sekjen, ada dua pola perubahan yang seringkali menjadi catatan. Pertama, perubahan itu bisa menjadi pola lama. Ada pola-pola lama yang terus dipertahankan, ada pola-pola lama yang kita kembalikan, ada pola-pola lama yang ingin kita teruskan, ini adalah perubahan tipe pertama. Kedua, ada perubahan yang mengambil pola baru, perubahan dalam pola baru itu adalah pola-pola yang kemudian berbeda sama sekali dengan hal-hal lama. 

Maka untuk gerakan anti korupsi ini akan mengambil pola baru ini, tidak menggunakan pola lama, karena kita tahu, pola lama yang sudah menjadi penyakit sosial tentu tidak bisa diteruskan, ucapnya. 

Sekjen menjelaskan, ada di antara akademisi kita yang menyatakan bahwa, korupsi itu kebudayaan, tradisi, tetapi pandangan tersebut tidak cocok bagi kita. Sebab kalau korupsi itu tradisi dan budaya, tentu tidak ada norma-norma apapun di Indonesia, hingga kemudian menjadi pedoman orang-orang berbuat (korupsi). Lalu kemudian lebih banyak para akademisi, praktisi menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah penyakit sosial bukan sebuah budaya bangsa. 

Kita harus menolak pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa,ujarnya. 

Dikatakan Sekjen, tidak ada norma-norma, tidak ada nilai-nilai yang membenarkan tindakan korupsi, dan yang paling tepat adalah berpandangan bahwa, korupsi bukan budaya bangsa tapi korupsi adalah penyakit sosial, dan karena dia penyakit sosial, sehingga kemudian harus ada cara-cara untuk menyelesaikan itu. 

Karenanya, perubahan harus dilakukan dari atas, dan salah satu di antara cara yang dilakukan adalah mengembangkan tunas-tunas integritas yang dimulai dari atas (pejabat) kemudian terus sampai bawah, dan kemudian kita harus mengambil tindakan-tindakan baru, mengambil sesuatu yang baru yang bukan sesuatu yang lama yang pernah dilakukan, ujar Nur Syam. (p/ab)